Belajar Internet Marketing

Pendidikan Seks, Efektifkah?


PENELITIAN terbaru di University of Pennsylvania School of Medicine, Amerika Serikat menyatakan bahwa program pantang melakukan seks (abstinence) lebih efektif mencegah seks bebas di kalangan remaja dibanding pendidikan seks di sekolah (sex education).

Penelitian yang dimuat untuk isu utama Februari dalam Jurnal Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine menunjukkan bahwa program-program edukasi yang mendorong siswa untuk tidak melakukan hubungan seks, lebih berhasil daripada pendidikan seks itu sendiri.

Separuh siswa yang mengambil kelas pendidikan seks dengan pengajaran informasi kontrasepsi tetap melakukan hubungan seks dalam dua tahun ke depan. Sebaliknya, hanya satu dari tiga siswa yang terus melakukan hubungan seks setelah menjalankan program yang terfokus pada larangan melakukan hubungan seks, seks yang aman, atau keduanya.

Studi ini melibatkan 662 pelajar sekolah menengah pertama (SMP) antara tahun 2001 dan 2004. Penelitian ini tidak melibatkan remaja yang berusia di atasnya dan program pantang melakukan hubungan seks juga tidak menitikberatkan pada larangan berhubungan badan sebelum menikah.

Penelitian ini merupakan salah satu studi terpanjang dan paling ketat tentang dampak jangka panjang dari larangan melakukan hubungan seks dan dengan jelas memperlihatkan keuntungan bagi remaja untuk menunda seks sebelum menikah.

”Bertentangan dengan apa yang banyak orang percaya, penelitian kami menunjukkan bahwa program larangan berhubungan seks yang hanya sehari menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi dibanding pendidikan seks yang berlangsung lama,” kata profesor psikologi komunikasi dari University of Pennsylvania School of Medicine, Amerika Serikat, John B Jemmott III PhD.

Kurang dari seminggu yang lalu, sejumlah penelitian terbaru juga dirilis untuk menunjukkan bahwa angka kehamilan saat ini di kalangan remaja meningkat, terutama di Amerika Serikat, untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade.

Direktur National Abstinence Education Association Valerie Huber berharap, hasil dari penelitian ini membukakan mata pemerintah negara mana pun untuk kembali bergerak menggiatkan program larangan melakukan hubungan seks. ”Ini dapat menjadi perhatian para pemimpin negara di mana pun untuk mengubah kebijakan dan pendanaan pendidikannya,” tuturnya.

Penelitian ini melibatkan 622 pelajar partisipan berusia antara 12–15 tahun. Kebanyakan dari mereka berjenis kelamin. Sekitar satu dari empat peserta mengaku telah melakukan hubungan badan saat memulai penelitian.

Pelajar tersebut terbagi dalam beberapa grup. Mereka menjalankan sekitar delapan jam program larangan berhubungan seks per grup, delapan jam pendidikan tentang seks yang aman, dan delapan atau dua belas jam pelajaran kombinasi antara keduanya, atau delapan jam program kesehatan yang di dalamnya tidak termasuk pengetahuan tentang seks.

Dalam sesi kelompok program pantang melakukan hubungan seks, fasilitator menekankan manfaat dari larangan tersebut dan mengajarkan cara pra-remaja dan remaja ini untuk melawan tekanan untuk berhubungan seks. Program berfokus pada menunda seks sampai nanti dalam kehidupan remaja ketika mereka sudah mampu mengatasi akibat-akibat dari perbuatannya.

Sesi pelajaran seks yang aman mendorong penggunaan kondom untuk mengurangi risiko kehamilan dan penyakit menular seksual. Sesi komprehensif termasuk pantangan melakukan hubungan seks dan instruksi seks yang aman.

Para pelajar yang ikut penelitian ini juga diperbolehkan mengambil waktu untuk menghadiri 2–3 jam sesi penguatan sekitar tiga dan enam bulan setelah sesi awal. Sesi ini diikuti enam orang untuk melakukan konseling selama dua tahun. Waktunya selama 20 menit per sesinya.

Setelah dua tahun kelanjutannya, terdapat 84 persen pelajar yang masih terus melakukan program ini. Hasilnya, program larangan berhubungan seks hanya mengintervensi 33,5 persen partisipan, sementara partisipan mengikuti pelajaran larangan dan seks yang aman tidak dibahas berpengaruh sekitar 48,5 persen.

Sekitar 20 persen partisipan yang mengikuti program larangan berhubungan seks dan 29 persen partisipan yang mengikuti pelajaran kesehatan secara umum dilaporkan melakukan hubungan seks aktif selama tiga bulan sebelumnya. Laporan aktivitas seksual ini juga ternyata tidak berbeda secara signifikan antara pelajar yang hanya mengikuti program larangan berhubungan seks, pelajaran seks yang aman, dan kombinasi keduanya.

Namun, hasil yang mencengangkan adalah tidak adanya pengaruh antara penggunaan kondom atau pengetahuan seks yang tidak aman, dengan aktivitas seksual. Peneliti Douglas Kirby PhD, dari kelompok penelitian kebijakan kesehatan ETR Associates, menyatakan temuan soal pelajaran seks yang aman tidak meningkatkan penggunaan kontrasepsi adalah kejutan.

”Setiap pelajaran seks soal melakukan hubungan seks yang aman sedianya untuk meningkatkan penggunaan kondom,” tuturnya. Sementara itu, temuan soal program larangan melakukan hubungan seks dapat menunda aktivitas seksual remaja, menurut Kirby, itu suatu hal yang lumrah.

”Saya telah mengatakannya selama bertahun-tahun, bahwa itu hanya soal waktu sebelum program mengenai larangan melakukan hubungan seks yang dirancang dengan baik akan menjadi efektif untuk menunda aktivitas seksual remaja,” katanya.

”Tapi yang lebih penting adalah para partisipan ini adalah masih siswa sekolah menengah. Program ini sangat keras menyuarakan pesan bahwa siswa akan mendapat manfaat yang banyak dari menunggu sampai mereka lebih tua untuk berhubungan seks. Aku tidak tahu, mungkin banyak orang yang akan tidak setuju dengan pernyataan itu,” lanjut Kirby.

Dokter spesialis kesehatan remaja dari University of Washington and Seattle Frederick P Rivara MD MPH dalam editorial halaman awal studi ini, mengatakan masih banyak penelitian yang lain tentang program larangan melakukan hubungan seks ini, karena, ”Tidak ada kebijakan publik yang didasarkan pada hasil dari satu penelitian,” terangnya.

Rivara mengatakan bahwa studi tentang program pantangan berhubungan seks ini baik bagi pengetahuan pra-remaja dan remaja.
Previous
Next Post »